Selasa, 08 November 2011

Dg.Sila dengan Kecapinya


Pernah Angkat Bedil untuk Kewibawaan Pancasila, 
Untuk Menyambung Hidup Kini Dg.Sila Mengangkat kecapi

Wajahnya masih memancarkan semangat juang meski usianya sudah sangat renta. Semangat juangnya terpancar dari kegigihannya menghidupi anak-istrinya, meskipun hanya dengan bermodalkan kecapi butut yang setia menemaninya mengumpulkan selembar demi selembar uang seribuan dari pemakai jalan yang melintas.

Suaranyapun masih terkesan tegas meskipun sudah sangat sayup  dan  agak gemetar, kita harus mendekatkan telinga untuk mencoba menyimak kisah-kisah heroiknya saat mengangkat bedil membela  kewibawaan Pancasila di masa berjuang dulu. Di pelupuk matanya yang menerawang, dapat terbaca dengan jelas semangat juangnya  yang begitu tinggi, gurat-gurat wajahnya membenarkan kisah heroic yang dikisahkannya.

“kamma-kammanne toa meki kodong, jari iyaji kulle dijama appakammanne, iyanjo riolo kulle enjaki appakamalla-malla, nasaba nia enja kabaraniang.” Katanya menerawang sambil sesekali memetik kecapinya.
Kalau diterjemahkan bebas, artinya seperti ini.”sekarang ini usia sudah sangat tua, fisik sudah lemah, jadi hanya pekerjaan ini yang mampu saya kerjakan. Dulu ketika raga ini masih kekar, banyak orang yang segan pada saya, karena waktu itu masih ada keberanian dan kekuatan.”

Beberapa orang yang melintas menyempatkan diri untuk meletakkan lembaran uang seribuan dalam kotak kardus yang tergeletak di depan lelaki renta itu.
Tak banyak orang mengetahui siapa Dg.Sila yang sebenarnya. Dia pernah bergerilya, pernah ikut angkat senjata memperjuangkan kemerdekaan, bahkan sempat menyaksikan bagaimana Pahlawan Robert Wolter Monginsidi dieksekusi oleh regu tembak Belanda di tepian sungai Tallo, pada 5 September 1949..

Siapa yang menyangka, lelaki renta yang menyambung hidup dari petikan kecapi butut dan belas kasih pemakai jalan ini memiliki pengalaman mengenai detik-detik yang mendebarkan  di masa perjuangan  itu. Kisah heroiknya sungguh menyengat penulis, yang tanpa sengaja menemuinya di suatu pagi di akhir September 2011, belum lama setelah peringatan proklamasi kemerdekaan RI yang ke 66.

“Penghargaan apami yang sudah nidapat…?” tanyaku dengan logat daerah

Sejenak Dg.Sila menerawang, lalu beralih mengamati saya, seakan bingung mau menjawab, “tena apa-apa nigappa.”katanya dengan lesu dan kembali lamat-lamat bersenandung dan memetik kecapinya.

Secara gamblang Dg.Ilyas mengisahkan bagaimana situasi kota Makassar yang ketika itu masih diselimuti hutan dan areal persawahan. Bersama pemuda-pemuda pejuang ketika itu, Dg.Sila yang juga masih pemuda kekar bergerilya dan main kucing-kucingan dengan pasukan Belanda.

“Teai ja’ tantara, jari tena ku’jari veteran kamma-kammanne” katanya sambil bersenandung dan terus memetik kecapi. 

Pria kelahiran 31 Desember 1927 itu, kini hidup di rumah sempit berukuran 30 meter persegi di pinggiran kota Makassar, tepatnya di Sudiang. Setiap hari, masih dini hari sekali dia meninggalkan gubug reotnya menuju lorong di sebelah barat SD.Inp.Daya, duduk memetik kecapi sampai menjelang duhur, lalu beranjak pulang saat matahari siang telah menyengat kulit keriputnya.

Dg.Sila boleh jadi adalah satu contoh pejuang kemerdekaan yang terlupakan. Sama halnya pahlawan-pahlawan lain yang diri atau keluarganya perlu mendapatkan perhatian, termasuk para tokoh masyarakat Irian Barat yang dulu menjadi pejuang Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat). Terlepas dari ada di antara mereka yang kemudian memberontak kepada Republik, pemberontakan itu hanyalah ungkapan kekecewaan mereka kepada pemerintah.

Jangankan Dg.Sila, si pejuang Pancasila dari Makassar itu, bahkan beberapa pejuang besar yang menyumbang jasa yang amat besar kepada Negara diantaranya Lodewijk Mandatjan, tokoh Organisasi Papua Merdeka (OPM) asal Arfak, juga pengibar bendera Merah Putih pertama di wilayah sekitar Manokwari, dan adapula Martin Indey, seorang nasionalis Indonesia asal Tabla Supa, Jayapura, sampai sekarang nama mereka tidak pernah dikenang, apalagi diabadikan. Padahal nama Martin Indey pernah diusulkan  menjadi nama bandara Sentani, oleh pihak DPRD Jayapura puluhan tahun lalu.

Masih banyak pahlawan-pahlawan yang terlupakan di negeri ini. Nama-nama mereka tak masuk dalam sejarah karena mereka hanyalah orang-orang kecil dan bukan bagian dari elite politik nasional pada masanya.

Hingga kini memang masih ada jurang antara elite dan massa rakyat. Rakyat hanyalah pelaku sejarah yang terlupakan. Beginilah cara bangsa kita memperlakukan mereka. Kita lupa nasihat Bung Karno: “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai para pahlawannya.” 
                                                         
                                            =======oooo=======

Tidak ada komentar:

Posting Komentar